26 June 2016

Review: Swiss Army Man (2016)


"You’re a miracle, or I’m just hallucinating from starvation."

Ketika premier di 2016 Sundance Film Festival ‘Swiss Army Man’ berhasil menjadi salah satu film yang mencuri perhatian karena cerita yang ia bawa mengandalkan salah satu hal yang lekat dengan stigma negatif di banyak budaya, yaitu kentut. Tidak hanya itu, karena kentut tadi tidak hadir dari manusia melainkan dari mayat hidup, farting corpse yang menjadi multipurporse tool. Tidak heran respon yang ia peroleh mixed karena dengan mencoba menggabungkan fantasi gila ala Michel Gondry yang bergerak seperti sebuah petualangan abstrak dengan gaya Stephen Chow ini tipe “not for everyone” movie, hit or miss. Swiss Army Man bukan film terbaik di tahun 2016, but this wild, weird, and wacky fantasy adventure is one to be remembered movie this year. I can hear Lord Voldemort laughing out loud. 

Hank (Paul Dano) terdampar di sebuah pulau dan sedang mempersiapkan usaha bunuh diri. Namun ketika hendak mengeksekusi rencananya tadi Hank melihat tubuh terdampar di tepi pantai. Tubuh itu merupakan mayat hidup yang hanya bisa merespon dengan kentut. Hank kemudian menamainya Manny (Daniel Radcliffe), persahabatan di antara mereka mulai terbangun ketika mencoba mencari jalan pulang. Namun ketika Hank mencoba “menghidupkan” kembali Manny ia menyadari bahwa Manny bukan mayat hidup biasa yang hanya bisa kentut, terdapat banyak kekuatan gaib dan gila yang tersimpan di dalam tubuh Manny.



Sulit untuk menaruh film ini di kategori apa karena di debut fitur layar lebar mereka ini sutradara Daniel Scheinert dan Daniel Kwan seperti mencoba menggambarkan banyak hal yang mereka campur ke dalam sebuah kemasan yang tampil dengan gaya antic sejak awal hingga akhir. Ambisi semacam ini begitu mudah tersandung dan jatuh menjadi hiburan yang menjengkelkan dan Swiss Army Man semakin riskan karena apa yang ia coba tampilkan di sini berputar-putar di sebuah pusat yang unik, yaitu kentut. Kentut, kentut, dan kentut, di bagian awal penonton terus dibombardir dengan kentut karena ia berusaha membuat kita menertawakan Hank dan Manny. Itu berhasil, jika bicara kuantitas tawa maka Swiss Army Man salah satu film yang berada di top spot di tahun ini, namun uniknya adalah ketika kita mulai menilai ini sebagai kemasan yang dangkal dan standar ia kemudian akan membawa kamu bergerak menuju bagian yang tidak kalah mengejutkan lainnya, yaitu drama.



Swiss Army Man adalah fantasi penuh imajinasi liar dan gila yang dikemas dalam bentuk sebuah petualangan mencari jalan pulang, tapi Daniel Scheinert dan Daniel Kwan ternyata juga mencoba turun ke ranah lainnya yaitu drama. Terdapat berbagai hal yang coba film ini katakan kepada penontonnya, mayoritas merupakan isu familiar di kehidupan yang ditampilkan secara ringan. Cara mereka menangani materi seperti kemampuan manusia untuk mengatasi segala rintangan terasa ringan dan tulus, Swiss Army Man tampak konyol tapi ia mampu menghadirkan koneksi emosi yang menarik antara penonton dengan dua karakter utama, satu orang hidup, satu orang setengah hidup yang tidak berhenti kentut. Saya suka cara film ini berbicara tentang something serious dengan membuat penontonnya bergembira, ia punya agenda yang tampil tajam dan mencuri perhatian di tengah mondar-mandir penuh absurditas yang bergerak cepat itu, penuh lelucon gila namun menampilkan kisah tentang cinta, identitas diri, persahabatan, dan harapan dengan manis.



Namun mengapa respon yang didapat film ini mixed? Hampir secara keseluruhan film ini bermain di nada yang playful dan konyol, dari menampilkan seorang pria yang depresi tapi menolak untuk masturbasi, air minum dan muntah, kentut dan jet-ski, hingga kompas, itu sedikit dari banyak hal konyol yang film ini berikan. Levelnya memang berlebihan dan wajar tidak semua orang dapat menerimanya, tapi meskipun awalnya canggung pesona yang Swiss Army Man hadirkan begitu cepat mengikat atensi, kamu dibuat penasaran pada hal gila macam apa lagi yang akan hadir selanjutnya. Dan walaupun terus meledak konflik dan lelucon film ini tidak melayang-layang, mereka punya daya cengkeram yang baik. Ada satu cara mudah untuk menekan bahkan menghilangkan rasa jengkel terhadap film ini, bayangkan saja pulau tersebut merupakan metafora dari pikiran Hank yang di awal kita tahu ingin mengakhiri hidupnya dan tiba-tiba Manny muncul untuk membawanya kembali ke jalan yang benar. Yeah, sounds crazy.



Selain kemampuan Daniel Scheinert dan Daniel Kwan merangkai semua fantasi gila mereka dengan baik ‘Swiss Army Man’ juga banyak diuntungkan dan kinerja dua pemeran utamanya. Paul Dano dan Daniel Radcliffe seperti kombinasi peanut butter and jelly, chemistry di antara mereka adalah alasan mengapa berbagai hal konyol dan gila di film ini mayoritas dari mereka mampu mencapai sasaran. Paul Dano tampil meyakinkan sebagai manusia yang berjuang untuk bertahan hidup dan perlahan kembali menemukan arah, dan Daniel Radcliffe tampil memikat sebagai mayat hidup dengan gerak terbatas, kekakuan yang ditampilkan terasa meyakinkan, ia mampu menjaga rasa aneh tapi terus membangun pesona menyenangkan dari Manny. Visual dan sinematografi dengan gaya antic juga punya peran penting, kesan artistik dan eksperimental jadi terasa kental. Saya juga suka dengan score, kerap menjadi penyeimbang yang pas bagi gerak cerita yang liar.



Swiss Army Man merupakan kumpulan ide, fantasi, dan imajinasi konyol dan gila yang dikemas dengan percaya diri, alasan mengapa ia terasa manis dan menyegarkan. Berawal dari sinopsis konyol berupa film tentang mayat hidup yang tidak berhenti kentut perlahan kamu akan dibawa kedalam sebuah petualangan tentang hidup bersama berbagai pertanyaan retoris simple namun tetap dengan kegembiraan gerak cepat yang absurd namun memikat. Ditunjang dengan pengarahan yang oke, elemen teknis yang tepat guna, script dan kinerja cast yang penuh komitmen, semakin jauh ia berjalan maka semakin "aneh" Swiss Army Man terasa, namun semakin "aneh" ia terasa semakin besar pula pesona yang Swiss Army Man hasilkan. Just like a wild rollercoaster not everyone will enjoy this one. Segmented.
















Thanks to rory pinem

0 komentar :

Post a Comment