21 February 2016

Review: Zoolander 2 (2016)


"You and SpongeBob were my biggest influence ever!"

Berawal dari sinopsis yang terhitung berani dengan menggabungkan Perdana Menteri Malaysia, fashion, dan usaha pembunuhan menjadi satu Zoolander berhasil menjadi sebuah dumb and satire comedies yang menghibur, dan Derek Zoolander berhasil menjadi karakter komedi dengan gaya yang ikonik. Sadar akan keunggulan yang telah dihasilkan oleh pendahulunya itu masih di bawah kendali Ben Stiller dengan tumpukan cameo dari Katy Perry, Justin Bieber, Ariana Grande, Skrillex, Lewis Hamilton, Olivia Munn, Naomi Campbell, Susan Sarandon, hingga Susan Boyle, Zoolander 2 mencoba untuk melakukan hal serupa tapi tak sama. Ya, serupa tapi tak sama.

Kehidupan supermodel Derek Zoolander (Ben Stiller) kini tidaklah mudah, dari sekolah the Derek Zoolander Center for Kids Who Can't Read Good yang ia dirikan bangkrut, kehilangan sang istri hingga melukai sahabatnya Hansel (Owen Wilson) yang juga telah pensiun sebagai model tidak mau berbicara dengan Derek. Berawal dari amarahnya yang tertangkap oleh sebuah tabloid, Derek kemudian diundang oleh Billy Zane untuk menghadiri fashion show dari seorang fashionista ternama Alexanya Atoz (Kristen Wiig) di kota Roma. Celakanya bersama dengan Hansel di sana Derek merasa mereka sedang terjebak dalam sebuah rencana pembunuhan yang dilakukan oleh Mugatu (Will Ferrell), musuh lama Zoolander, yang telah keluar dari penjara. 



Ben Stiller bukan pemain baru di bangku sutradara tapi entah mengapa di sini ia tampak seperti sosok yang baru saja mencoba menjadi sutradara. Bukan, bukan dari cara Ben Stiller memasukkan berbagai aksi bersenang-senang ciri khasnya itu tapi lebih pada cara yang ia pilih agar semua “kekacauan” itu dapat menyatu dengan baik. Di tangan Stiller Zoolander 2 seperti berusaha untuk membuktikan bahwa sebuah film dapat tampil baik tanpa mengikuti aturan main dari proses bercerita agar dapat menghasilkan sebuah film yang baik. Cerita yang seperti sengaja didominasi oleh hal gila dan cukup sulit diterima akal itu memang hal yang wajar, tapi cara Stiller mengeksploitasi materi tadi yang terasa tidak maksimal.



Bagian awal cukup menarik, walaupun lemah seperempat hingga sepertiga awal durasi masih memiliki beberapa momen yang baik. Di bagian ini Stiller seperti masih memperhitungkan setiap langkah yang akan dilakukan oleh cerita, dari memperkenalkan kembali Derek dan Hansel sambil perlahan membentuk plot terkait kematian selebriti dan memasukkan Valentina Valencia (Penélope Cruz) ke dalam cerita, walaupun pada akhirnya tetap saja tipis. Eksekusi Stiller juga tidak buruk di bagian ini terutama cara ia mengolah komedi yang fokus pada kekonyolan yang cenderung kasar, mereka tidak terasa menjengkelkan meskipun memang tidak semuanya lucu. Tapi sayangnya ketika telah selesai membangun landasan untuk berpacu cerita seperti mengalami mati mesin dan tidak bisa berlari.



Ketika tujuan utamanya telah terungkap di sana Zoolander 2 mulai terasa monoton. Penyebabnya karena sisa film terlalu bergantung pada cameo dan rangkaian lelucon untuk bergerak dan semakin lengkap setelah ditemani dengan dialog-dialog tanpa punch yang oke. Bukan hanya dialog sebenarnya tapi cerita juga punya punch yang kurang oke, bergeser dari fiksi menuju tragedi lalu komedi dan eksploitasi di tiga bagian tadi semuanya terasa setengah hati. Di film pertama ada lelucon tentang dunia mode yang palsu dan bodoh, dan di film ini yang ada hanya eksplotasi betapa “bodoh” dan palsunya cerita. Stiller sebenarnya sudah mencoba menutup kekurangan itu dengan gerak cepat cerita dan lelucon yang ditampilkan lewat slapstick, tapi sayangnya cerita dan karakter yang kusam (Valentina tidak kusam) selalu mencuri perhatian.



Ya, Zoolander 2 ini aneh karena ia berniat untuk menjadi komedi yang berani dan epik dalam gerak cepat tapi cerita dan karakter dibentuk lemah dan seadanya, bahkan terkesan pemalas. Memang skenario oke dalam membuat plot yang tidak koheren tapi nada cerita tidak pernah konsisten, penonton lebih sering bertanya-tanya apakah yang baru saja muncul adalah sebuah lelucon ketimbang merasakan hit dari lelucon tersebut. Kinerja cast juga sama saja, mereka seperti kartun yang niatnya hanya ingin berpose ketika momen untuk tampil konyol tiba. Karakter yang punya modal untuk tampil komikal dengan lelucon tentang supermodel sampai dengan lelucon obsesi tentang berat badan lebih sering melakukan aksi yang miss.



Jika kamu pernah menyaksikan film Zoolander maka tidak akan sulit untuk klik dengan Zoolander 2 di bagian awal karena pola yang serupa, tapi sayangnya Ben Stiller si jagoan slapstick nakal itu kurang berhasil mengendalikan Zoolander 2 untuk menghibur dengan menampilkan “cara” Zoolander kedalam bentuk yang sama baiknya dan lebih segar. Masih ada beberapa momen lucu dibalik tumpukan lelucon yang gagal itu, tapi akibat gagal menyajikan sisi satir cerita dan komedi yang terasa lemah pada akhirnya Zoolander 2 hanya berakhir sebagai komedi absurd yang usang.













Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment