11 February 2016

Review: Jane Got a Gun (2016)


"I will kill you."

Sejak pertama kali diumumkan akan diproduksi pada tahun 2012 yang lalu film ini telah mengalami banyak masalah dengan Natalie Portman sebagai anggota asli yang bertahan di posisi aslinya hingga akhir. Dari Michael Fassbender, lalu Jude Law, hingga Bradley Cooper, kemudian ditinggal oleh sutradara, hingga kasus bangkrut rumah produksi, Relativity Media, akhirnya proyek bermasalah dengan judul Jane Got a Gun ini sukses menemukan senjata yang akan ia gunakan dan berhasil menyapa penonton. Pertanyaan berikutnya adalah apakah senjata itu punya peluru yang cukup atau tidak? Jane masih butuh Thor!

New Mexico, tahun 1871 setelah Perang Sipil, Jane Hammond (Natalie Portman) sedang berada di dapur ketika suaminya Bill (Noah Emmerich) tiba di rumah dalam keadaan terluka setelah ditembak oleh anggota the Bishop Boys gang. Dengan cepat memahami kondisi yang dihadapi oleh ia dan suaminya, Jane segera menemui Gunslinger Dan Frost (Joel Edgerton), satu-satunya orang yang ia yakin dapat membantu mereka. Jane mulai belajar dari Dan Frost untuk mempersiapkan diri jika kelak harus menghadapi gang yang dipimpin oleh John Bishop (Ewan McGregor) itu.



Jane Got a Gun sesungguhnya tidak melakukan kesalahan besar yang sangat mengganggu dan super merusak, tapi sebuah kesalahan kecil dengan cepat menutup jalannya untuk meraih potensi terbaik. Dari cast saja misalnya berhasil menampilkan kinerja yang baik, meskipun tidak dibantu dengan materi yang baik Natalie Portman berhasil menciptakan pesona yang oke pada karakter Jane terutama pada sikap gigih yang ia miliki, chemistry antara dirinya dan Joel Edgerton juga terasa pas. Lalu dari visual, Mandy Walker yang menggantikan Darius Khondji berhasil menampilkan komposisi western yang oke bahkan memiliki beberapa bagian yang terasa memikat. Lalu apa yang menyebabkan Jane Got a Gun justru berakhir sebagai film western dengan pistol yang tidak memiliki cukup peluru?



Terdapat dua masalah kecil tapi krusial dari film ini yang berasal dari penempatan posisi yang tidak tepat. Pertama, sejak awal film ini telah mendapatkan label sebagai film western dengan rasa feminis tapi alih-alih mendorong Jane sebagai pion utama untuk bergulat dengan masalah film ini justru menjadikan posisi Jane hampir sejajar dengan posisi Dan Frost. Sebagai karakter utama Jane terlalu sering harus dipaksa berbagi porsi fokus cerita dengan Dan Frost. Hasilnya karakter Jane tidak tumbuh dengan baik, kita tahu tekanan dan frustasi yang ia hadapi tapi bersama dengan karakter Bill Hammond mereka terasa memiliki dimensi yang lebih kecil ketimbang karakter Dan Frost yang berhasil dieksplorasi dengan baik.



Masalah yang kedua adalah fokus pada karakter Dan Frost memang baik meskipun informasi tentang karakter terasa terbatas, namun secara keseluruhan Jane Got a Gun tidak berhasil menciptakan fokus yang kuat dan menarik. Pace film yang juga terasa kurang asyik mengakibatkan Jane Got a Gun seperti sebuah puzzle yang kurang menantang bagi penonton ikut berpartisipasi lebih dalam. Terdapat aksi memeriksa karakter, ada kilas balik kecil, ada masalah dari sebuah hubungan, ada bahaya yang telah menanti, ada karakter yang berada di bawah tekanan, senjata film ini sesungguhnya telah mumpuni tapi sepanjang durasi 98 menit ia lebih sering terlihat berusaha untuk mengembangkan sinopsis untuk hidup ketimbang membuat penonton bergulat dengan tantangan dan bahaya bersama urgensi.



Memang Jane Got a Gun tidak pernah berakhir di level membosankan, tapi narasi dengan kecepatan yang santai serta komposisi cerita yang kurang padu itu menjadikan aksi mengamati Jane yang bertarung dengan masalah sering terasa monoton. Unsur action punya eksploitasi yang standar, unsur drama juga tidak berhasil berkembang karena eksekusi yang sangat hati-hati, jadi tidak heran jika rasa frustasi Jane perlahan mulai pindah ke penonton karena desakan emosi yang jadi kunci utama hilang dari cerita. Ya, urgensi merupakan hal terpenting dari usaha Jane menyelesaikan masalah yang ia hadapi, dan itu seharusnya diberi perhatian lebih oleh Gavin O'Connor bukannya justru asyik dengan dialog cheesy yang beberapa di antaranya bahkan punya power besar untuk membuatmu tertawa.



Jika melihat masalah yang telah Jane Got a Gun miliki sejak awal apa yang dilakukan oleh Gavin O'Connor terhitung tidak buruk dalam menyelamatkan film ini dari jurang kehancuran, tapi tentu sesuatu yang tidak mudah untuk meneruskan pekerjaan yang tidak kamu mulai sendiri sehingga tidak heran seperti ada yang hilang dari Jane Got a Gun. Yang pertama visi dan misi, dan yang kedua adalah fokus terutama pada usaha ingin memberikan banyak hal pada penonton tapi karena naskah yang miskin excitement menyebabkan ia akhirnya kerepotan dalam mencampur semua materi menjadi satu kesatuan yang klik satu sama lain. Karakter oke, tapi cerita, tidak.












Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment