16 April 2016

Review: The Boss (2016)


"Buy my brownies or I'll kill you."

Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak selalu sehat. Ambil contoh sebuah pertandingan sepakbola akan terasa monoton jika setiap 5 menit sekali terjadi gol, begitupula dengan pertandingan basket yang hanya dipenuhi slam-dunk sehingga pengalaman menonton akan terasa monoton dan melelahkan. Melissa McCarthy merupakan salah satu komedian berbakat yang ahli dalam menghibur penonton dengan cara tampil “berlebihan”, dan kini ia membawa The Boss untuk tampil “berlebihan”, seperti kelanjutan dari Identity Thief dan Tammy yang kembali mengandalkan goofiness untuk mencoba menghibur penontonnya.

Tumbuh besar di panti asuhan Michelle Darnell (Melissa McCarthy) kini telah berubah menjadi seorang guru keuangan, namun sebuah insiden membawa Michelle ke dalam penjara. Setelah bebas dibantu asistennya yang setia Claire Rawlins (Kristen Bell) ia mulai mencoba mengeksekusi sebuah ide bisnis untuk membawanya kembali ke posisi atas, menjadi penjual brownies. Usaha Michelle perlahan mulai menemukan hasil yang baik hingga suatu ketika ia harus kembali bertemu dengan Renault (Peter Dinklage), mantan pacar Michelle, seorang taipan bisnis yang hendak melakukan balas dendam. 



The Boss ini tipe film yang ingin penonton cintai tapi sulit karena ia juga tidak memberikan jalan yang mudah untuk dicintai. Jangan kira dengan sinopsis yang sangat klise tadi The Boss sejak awal sudah tidak menarik, justru sebaliknya, ini menarik apalagi ia seperti ingin berbicara tentang pemberdayaan perempuan dengan membuat Michelle sebagai sosok wanita muda yang inspiratif. Berhasil? Menjadi inspiratif terlalu jauh untuk dicapai film ini, untuk mengendalikan dirinya sendiri saja The Boss sudah kesulitan. Masalah The Boss tidak jauh-jauh dari masalah yang sering dilakukan oleh komedi: mencoba memborbardir penonton dengan humor tapi tidak menciptakan alur yang oke. Hasilnya, keinginan di awal tadi hilang ditelan tumpukan lelucon yang seiring berjalannya waktu terasa monoton, dan tidak lucu.



Sangat sayang karena The Boss punya potensi yang bagus untuk jadi komedi tentang bisnis. Cara Ben Falcone menggunakan keunggulan Melissa McCarthy juga tidak jelek di bagian awal, karakterisasinya cepat mencuri perhatian penonton. Tapi bukannya menggunakan komedi dan ide cerita untuk saling membantu film ini ternyata memilih untuk mengeksploitasi keunggulan McCarthy tadi. Karakterisasi yang baik tetap sulit untuk menolong sebuah film komedi memberikan tawa jika naskah lemah. The Boss memberikan kesempatan bagi Michelle untuk tampil absurd sehingga kesannya terus menerus mengemis tawa dari penonton. Tidak salah memang asalkan disertai dengan alur yang oke, disertai dinamika yang oke, bukan terkesan asal lempar dan berharap sebuah keajaiban menghasilkan tawa.

Melissa McCarthy sendiri tampil tidak begitu buruk di sini, chemistry dengan Kristen Bell (kinerjanya kurang kuat) juga tidak jelek, menyenangkan untuk ditonton walaupun lelucon memang hit dan miss. Penyebabnya adalah fluiditas bercerita yang tidak pernah berhasil dicapai oleh The Boss. Sisi komik The Boss terasa kaku, cerita yang biasa terus bergerak mondar-mandir untuk mencari ruang memberimu lelucon tapi lemah memilih momen yang tepat. The Boss tidak menggunakan konsep tunggu dan pukul, ia memilih untuk terus memukul kamu dengan lelucon yang celakanya tidak semuanya menarik. The Boss juga seperti tidak tahu kapan usahanya sudah melewati batas, menghabiskan banyak waktu pada lelucon (termasuk pengulangan lelucon) sehingga banyak yang energinya lemah dan tidak punya hit yang oke.



The Boss punya banyak masalah yang menghalangi penonton untuk mencintainya, kumpulan hal-hal berlebihan baik dari cerita hingga overacting yang kaku membuat potensi untuk menjadi sebuah komedi konyol ala Will Ferrell sirna. Bukan hanya sedikit usaha drama di bagian akhir saja yang terasa dipaksa tapi mayoritas goofiness yang ia tampilkan juga terasa kaku. The Boss adalah komedi dengan karakterisasi menarik yang tenggelam di dalam naskah dan pengarahan yang lemah, seolah hanya punya garis besar dan kemudian melepas karakter untuk berimprovisasi sendiri, dan yang paling kasar adalah jumlah lelucon yang "kuat" dapat dihitung dengan jari tangan. Dua tangan? Mungkin satu. Segmented.






0 komentar :

Post a Comment