28 January 2016

Review: Ride Along 2 (2016)


"My nerves is bad, man! Oh my God! Here, zombie! Headshot, Walking Dead!"

Dua tahun lalu Ride Along kala itu berhasil meraih rekor sebagai the highest domestic opening weekend gross di bulan Januari, dan dengan modal $25 juta berhasil meraih pencapaian box office sebesar $154.5 juta, enam kali lipat dari budgetnya. So, dengan kesuksesan tersebut sekuel tentu menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari karena secara tidak langsung Ride Along telah berhasil menjadi sebuah mesin pencetak keuntungan yang menjanjikan. Tapi bukannya dirawat mesin itu justru menemukan kendala besar di sekuelnya, yang tentu saja tidak tampil dengan nama berbeda, Ride Along 2.

Satu minggu sebelum acara pernikahannya, polisi yang masih berada dalam tahap percobaan bernama Ben Barber (Kevin Hart) memohon calon abang iparnya James Payton (Ice Cube) untuk ikut serta dalam tugas menangkap seorang boss kriminal bernama Antonio Pope (Benjamin Bratt). Niat utama Ben adalah untuk mencoba membuktikan pada James bahwa ia merupakan calon adik ipar yang dapat diandalkan. James setuju membawa Ben, mereka berkerjasama dengan polisi local bernama Maya (Olivia Munn) dengan mengandalkan seorang saksi ahli komputer A.J. (Ken Jeong). 


Sudah? Sinopsisnya hanya seperti itu? Ya, hal menarik dari sinopsis yang dimiliki Ride Along 2 hanya sampai di sana karena setelah itu yang Tim Story tampilkan dari script yang disusun oleh Phil Hay dan Matt Manfredi  adalah bagaimana caranya agar banyak ruang di mana Ben dan James dalam saling berteriak dan saling ejek. Ride Along sebenarnya juga menggunakan konsep yang serupa tapi dua tahun lalu ia berhasil meminimalisir elemen-elemen yang potensial untuk menimbulkan hal negative dengan alur yang fun dan tik-tok yang menarik dan tentu saja lucu antara Kevin Hart dan Ice Cube. Sementara yang dihasilkan oleh Ride Along 2 justru sangat bertolak belakang.



Ride Along 2 ini seperti kemasan film pertama yang datang hanya sebatas mencoba peruntungan dengan menggunakan isi yang sama namun topeng yang berbeda. Di luar dugaan menghasilkan uang enam kali lebih besar dari budget awal usaha tersebut memang wajar, tapi bukankah akan lebih baik jika disertai dengan beberapa sentuhan baru yang bisa menciptakan impresi yang sedikit berbeda ketimbang pendahulunya. Di sini itu tidak terjadi, copy paste yang bukan cuma pemalas baik itu dari dialog hingga karakter tapi juga seolah bingung ketika bercerita kepada penontonnya. Contohnya, banyak momen di mana materi sebenarnya lucu tapi Ride Along 2 tidak melepasnya agar tampil lucu, justru seolah memaksa penonton untuk tertawa karena itu lucu.



Bagian terbaik dari Ride Along 2 adalah aksi saling ejek antara James dan Ben, yang walaupun mayoritas miss dan chemistry terasa kurang konsisten tapi tertolong oleh memori penonton pada banter mereka di film pertama. Selebihnya, Ride Along 2 adalah kemasan yang tidak menarik terlebih ia sendiri juga tampak kurang tertarik untuk menjadi komedi yang menarik. Ini seperti banyak materi potensial yang dilempar sembarangan kedalam cerita, fokus utama pembuktian diri Ben saja seperti jadi anak tiri dibalik elemen action yang juga eksekusinya terasa setengah matang dan kusam. Memasukkan Ken Jeong awalnya cukup membantu plot yang sangat tipis, tapi setelah ia klik ke dalam cerita bahan yang sangat standar itu perlahan mulai tercium bau basi, jadi monoton, jadi hambar, dan jadi membosankan.



Jika pencapaian film pertamanya tidak baik mungkin yang diberikan Ride Along 2 ini akan terasa wajar, tapi Ride Along adalah komedi bodoh yang baik, ia menciptakan pondasi yang oke terutama pada dua karakter utama, sehingga terasa aneh ketika Tim Story justru kerepotan meneruskan pencapaian tersebut di sini. Berikan saja Kevin Hart dan Ice Cube ruang yang oke, itu cukup, tapi di sini seolah ingin tumbuh lebih besar Ride Along 2 chemistry yang jadi kunci justru terpinggirkan dan diganti dengan sajian copycat game Grand Theft Auto penuh kesan parody yang bukan cuma terburu-buru tapi mayoritas terasa tidak perlu. Oh, slapstick dapat dibentuk menjadi komedi yang pintar, tapi di sini hal tersebut sangat sulit untuk ditemukan.











Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment