13 July 2016

Review: The BFG (2016)


"What kind of a monster are you?"

Setelah tahun lalu hadir dengan a very good spy thriller ‘Bridge of Spies tahun ini prolific filmmaker Steven Spielberg kembali dengan sebuah family-friendly fantasy adventure, The BFG. Bermain dengan fantasi sudah pernah Steven Spielberg lakukan di ‘E.T. the Extra-Terrestrial’, a near perfect and one of the best children's and family entertainment. Sentuhan Spielberg belum pudar di kisah persahabatan antara manusia dan raksasa ini, petualangan yang ramah bagi penonton muda dibalut dengan visual yang impresif dan cantik. Pertanyaannya adalah apakah ini sebuah petualangan fantasi yang luar biasa? It’s a good family movie from Steven Spielberg.

Sophie (Ruby Barnhill) merupakan seorang yatim piatu yang memiliki masalah insomnia, gemar menghabiskan malam dengan membaca buku dan berjalan di lorong panti asuhan. Suatu ketika ia melihat sosok raksasa the BFG (Mark Rylance) yang kemudian "membawa" Sophie ke Giant Country, alam yang belum ada di peta milik manusia. Awalnya panic Sophie perlahan belajar bahwa pria tersebut merupakan big friendly giant yang mampu mengendalikan mimpi untuk memberi sukacita bagi anak-anak ketika mereka tidur lelap. Namun persahabatan unik yang mulai terbangun itu terganggu oleh The Fleshlumpeater (Jemaine Clement), raksasa menakutkan yang sedang mencari mangsa. 



Sebagai sebuah family movie ‘The BFG’ memiliki beberapa materi serius di dalam cerita, fantasi dan juga magic kita tahu bahwa di jantung cerita The BFG terdapat isu yang tidak begitu ringan. Namun hal tersebut tidak pernah bergerak untuk kemudian menjadi masalah, Steven Spielberg berhasil menjaga agar materi tadi tidak pernah terasa tumbuh untuk mengganggu penonton muda, justru ia manfaatkan untuk mempertebal pesona dari petualangan Sophie bersama dengan The BFG. Layaknya sebuah dongeng pengantar tidur tanpa membentuk setup yang kompleks kita dibawa untuk langsung melompat ke situasi di mana anak yatim Sophie “terjebak” di dalam kehidupan seorang raksasa, meskipun tampak tidak memiliki banyak rencana bagian awal The BFG terasa segar. Hal terbaik pada bagian ini adalah semangat dari cerita dan pesona karakter, saya suka kesan hangat yang The BFG pancarkan dari gerak yang terasa sederhana itu.



Tidak berhenti di sana, setelah berhasil membuat penonton tertarik pada konflik utama ‘The BFG’ terhitung berhasil pula mengikat atensi penonton setelah lepas landas dari garis start. Penyebabnya adalah tampilan visual yang memikat. Teknologi motion capture yang digunakan memberikan presentasi visual yang tidak hanya manis dan mengunci atensi tapi juga berperan penting terhadap keberlangsungan proses bercerita yang dilakukan The BFG. CGI di sini sangat efektif dalam menyokong upaya karakter “bertindak” di dalam layar, kehangatan yang mereka pancarkan hingga sikap naif dari Sophie banyak terbantu CGI, kombinasi antara karakter nyata dan karakter imajiner hasil olahan komputer juga tidak terasa canggung. Hal tersebut membuat paruh pertama yang dari segi cerita kerap terasa canggung dan santai tanpa dramatisasi yang mencolok itu tidak pernah terasa monoton.



Ya, hal yang paling mengejutkan dari ‘The BFG’ adalah ternyata ini bukan merupakan sebuah petualangan yang dilakukan manusia dan raksasa dengan oktan tinggi. Sebenarnya ini punya potensi yang besar untuk tampil cepat dalam menggambarkan berbagai isu seperti persahabatan, tapi Steven Spielberg ternyata memilih jalur yang berbeda. Novel ”The BFG” karya Roald Dahl terasa quirky buat saya pribadi, sama seperti “Fantastic Mr. Fox” dan “Willy Wonka and the Chocolate Factory,” tapi di versi filmnya ini hal tersebut Steven Spielberg tekan sehingga ‘The BFG’ kerap terasa tenang dan cenderung sentimental. Proses discovery yang dialami Sophie serta ikatan persahabatannya dengan The BFG memang menampilkan keunikan lengkap dengan fart jokes dan banyak dark humor yang tidak berat, namun progress yang terasa lamban itu perlahan membuat pesona dan kekuatan dari konflik serta cerita terasa sedikit berkurang.



Sederhananya ibarat lingkaran karakter The BFG dan Sophie tahu di mana letak pintu keluar tapi mereka seperti belum puas untuk bermain lalu menolak dan memilih untuk kembali berputar. Durasi film ini 117 menit dan jika dibandingkan antara sinopsis serta cara ia dibangun terhadap output yang ‘The BFG’ hasilkan itu terasa sedikit terlalu gemuk. Memang naskah yang ditulis oleh Melissa Mathison cerdik membuat penonton untuk tidak mempermasalahkan rincian plot tapi alih-alih menampilkan misi bagi The BFG dan Sophie cerita tetap setia pada proses “observasi” yang mulai sedikit goyah, tampil termasuk cukup tenang tanpa banyak menghadirkan transisi yang berlebihan. Spielberg ingin menghadirkan sebuah sajian emosi yang kuat tapi ia menggunakan cerita tanpa konteks yang konsisten oke untuk membawa emosi berkembang semakin kuat.



Untung saja The BFG punya karakter yang menampilkan pertunjukkan menarik, ketika daya tarik cerita sempat goyah pesona mereka tetap berdiri kuat. Ia memang tampil setelah mendapat sentuhan di sana sini oleh efek visual tapi Mark Rylance berhasil memancarkan kehangatan yang dimiliki karakter The BFG. Dari ekspresi kikuk namun halus Rylance berhasil membuat penonton menangkap kasih sayang dari The BFG, raksasa kesepian yang memiliki tekad mulia untuk melindungi dan membuat anak-anak bahagia. Kinerja kompatriot Rylance di sini, Ruby Barnhill, juga tidak kalah menarik. Ruby Barnhill berhasil membuat Sophie menjadi karakter yang menarik, karakter anak perempuan yang cerdas serta berjiwa bebas itu selalu mampu tampil menonjol di samping karakter The BFG lewat semangat dan energi yang ia tampilkan. Chemistry antara Mark Rylance dan Ruby Barnhill juga oke.



Steven Spielberg berhasil membentuk kisah persahabatan antara manusia dan raksasa ini dengan sentuhan khasnya sehingga family-friendly fantasy ini terasa vivid dengan cinematic magic yang cukup menyihir. 'The BFG' selalu berada di jalur yang tepat sejak awal hingga ketika ia berakhir untuk menyampaikan sebuah petualangan dengan semangat, hati, dan emosi yang terasa oke bersama karakter dengan pesona hangat yang menarik. Namun sayangnya 'The BFG' kurang berhasil mencapai potensi awalnya, ia lebih terasa seperti dongeng sentimental yang kerap terasa statis dan kurang nendang meskipun disokong dengan visual dan kinerja cast yang memikat. Engaging till the end but on the other side at some part 'The BFG' feels a bit less kicking in terms of storytelling. Segmented.








0 komentar :

Post a Comment