09 June 2016

Movie Review: Equals [2016]


"I can’t stay away from you."

Dunia ini semakin kejam, segala perkembangan teknologi tidak hanya membantu kemampuan setiap manusia untuk berkembang tapi juga membuat sikap “manusiawi” kita semakin berkurang. Manusia berjiwa sosial semakin sulit ditemukan, sikap individualisme semakin populer. Apakah peradaban manusia perlahan akan berubah menjadi layaknya robot dengan segala program yang ditanamkan padanya? Bagaimana jika di masa depan untuk menciptakan dunia yang damai seluruh manusia dipaksa hidup dengan jiwa individualis di mana emosi dan rasa cinta dianggap sebagai sebuah penyakit? Itu isi film ini, ketika “zombie” ingin tetap menjadi manusia, Equals is a dystopian version of Romeo & Juliet when the only crime is, love.

Masyarakat masa depan kini hidup dalam damai dengan sikap individualisme, belajar dan berinteraksi secara normal namun tanpa “ikatan” apapun antar individu. Emosi dan rasa cinta dianggap sebagai "penyakit", keberadaannya dianggap tabu, reproduksi dilakukan secara inseminasi buatan karena pernikahan dilarang, warga terus dimonitor dan jika melanggar harus menjalani rehabilitasi dengan berbagai obat hingga dipaksa bunuh diri. Illustrator muda bernama Silas (Nicholas Hoult) merasakan gejala “penyakit” tersebut ketika bertemu rekan kerjanya, Nia (Kristen Stewart), berdua mencoba mengontrol perasaan dari gangguan batin yang perlahan semakin terasa memusingkan: rasa cinta. 


Equals punya premis yang sangat sangat sangat menarik, coba tilik saja sinopsis di atas, manusia yang terisolasi harus menghadapi masalah batin karena tetap ingin merasakan indahnya hidup dengan bersosialisasi. Equals juga punya potensi untuk menjadi sindiran terhadap kehidupan sosial masyarakat masa kini yang kini tampaknya mulai lebih tertarik pada gaya hidup individualis. Cara atau jalan utama yang Equals gunakan juga menarik, pilihan untuk membuat emosi dan rasa cinta sebagai hal yang berbahaya sangat oke karena dua hal tersebut merupakan bagian dari elemen penting yang dimiliki oleh manusia. Dan Equals tampak semakin menjanjikan karena setting yang digunakan berada di masa depan, menyaksikan Romeo & Juliet mencoba untuk menjaga agar cinta mereka tetap bersinar meskipun dikelilingi banyak rintangan. 



Potensi tadi awalnya mampu dibentuk oleh Drake Doremus (Like Crazy, The Beauty Inside, Breathe In) tapi daya tarik cerita cepat menguap, perlahan menghilang. Konsep Equals adalah mengajak penonton ikut merasakan apa yang karakter rasakan dengan menyaksikan karakter saling mengungkapkan perasaan mereka dalam interaksi yang mengandalkan ekspresi ketimbang dialog. Silas dan Nia selalu berusaha saling mengamati, seperti berusaha untuk meyakinkan diri pada perasaan masing-masing namun juga berusaha menjauh dari emosi dan rasa cinta. Tapi bukannya semakin kuat interaksi mereka terasa kaku, terasa kikuk, Silas dan Nia tidak berhasil membuat penonton merasa simpati dan menaruh empati pada keterbatasan yang mereka alami, perlahan membuat kisah di antara mereka terasa sedikit hampa.


Equals tidak monoton karena punya visual yang oke, musik dan editing juga oke, namun walaupun terlihat menarik dari segi visual, Equals semakin kedodoran ketika bercerita. Penonton terus merasa seperti “digantung” oleh Silas dan Nia karena yang mereka lakukan mayoritas saling tatap dengan rasa ragu. Kita mengerti niat Doremus di sini, ingin membuat kita bertanya tentang kehidupan sosial lewat aksi mencintai dan dicintai dua manusia, tapi dengan sensualitas yang coba ditampilkan pengembangan masalah itu terasa dangkal. Bahkan terasa aneh, sama seperti karakter narasi terasa kaku, kurang berhasil menampilkan perkembangan yang menarik terhadap masalah dan karakter. Ya, karakter juga kurang berkembang, karakterisasi mereka yang sejak awal terbatas semakin terasa stuck, penonton mengerti masalah mereka tapi sulit untuk ikut merasakan gejolak batin mereka secara mendalam.


Niat Drake Doremus untuk menciptakan “dunia” penuh keterbatasan bagi karakter memang menarik tapi akan terasa lebih menarik jika ia menyisipkan beberapa pengungkapan kedalam cerita jadi cerita tidak hanya sekedar berputar-putar saja. Urgensi Equals tidak menarik, intensitas sensasi cerita utama punya grafik menurun, dan karena kurang berkembang secara meyakinkan pada narasi bukan tidak mungkin momen ketika rasa jengkel menghampiri beberapa penonton akan tiba lebih awal dari yang saya alami. Terasa sayang memang karena penampilan dua pemeran utamanya tidak buruk, dengan segala kekurangan di cerita Nicholas Hoult dan Kristen Stewart terhitung tidak buruk mempertahankan pesona karakter mereka, meskipun itu tadi, sulit untuk merasakan apa yang mereka rasakan secara mendalam, hal penting dari film yang menggunakan romance sebagai jualan utamanya.


Penonton tidak butuh penjelasan yang detail dibalik setting terbatas yang ia gunakan, alasan mengapa dunia hancur, alasan mengapa emosi dan cinta menjadi tabu, itu tidak perlu. Yang penonton inginkan adalah konsistensi dari konsep terbatas yang dibawa, mengembangkan masalah dan karakter yang “terpenjara” untuk mencapai tujuan utamanya dengan cara yang menarik, menarik untuk diamati, menarik untuk dirasakan. Equals kurang berhasil melakukan dua hal tadi, punya potensi besar di awal tapi karena begitu banyaknya inkonsistensi berakhir sebagai sci-fi romance yang terlalu biasa. Segmented. 




















Thanks to rory pinem

0 komentar :

Post a Comment