18 March 2016

Review: The Other Side of the Door (2016)


"Look mummy Oliver came back"

Salah satu “formula” paling standar dari cerita sebuah film horror adalah karakter diberikan sebuah aturan di mana jika ia melanggar maka akan timbul masalah bahkan bencana yang besar dan berbahaya, tapi dasar karakter tersebut memang nakal serta didorong rasa ingin tahu bahkan tekanan yang begitu besar maka ia melanggar aturan tersebut. Boom, muncul bencana. Diperingatkan untuk tidak masuk ke hutan “berbahaya” malah nekat dan masuk ke dalam hutan, diminta untuk mengikuti aturan ketika merawat sebuah boneka malah menganggap remeh dan mengabaikan aturan. The Other Side of the Door seperti itu pula, jangan buka pintu terlarang tapi dasar nakal malah dibuka, dan hadirlah sebuah supernatural horror yang (cukup) oke.

Maria (Sarah Wayne Callies) dan suaminya, Michael (Jeremy Sisto) tinggal di Mumbai, India, dan memiliki sebuah homewares. Mereka memiliki anak perempuan bernama Lucy (Sofia Rosinsky), sementara anak laki-laki mereka Oliver (Logan Creran) meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil yang tragis. Peristiwa tersebut meninggalkan trauma mendalam bagi Maria, ia merasa salah karena hanya mampu menyelamatkan Lucy. Suatu ketika pembantu mereka, Piki (Suchitra Pillai-Malik) mengatakan bahwa ada sebuah kuil tempat di mana Maria dapat berbicara dengan Oliver untuk meminta maaf sehingga ia bisa merasa damai. Celakanya Maria melanggar aturan, Oliver memang kembali namun bukan lagi Oliver yang ia sayangi. 

Berbicara tentang ide cerita The Other Side of the Door memang terasa basi tapi ternyata sang sutradara Johannes Roberts cukup berhasil memainkan materi yang ia punya sehingga horror standard ini tidak jatuh terlalu dalam. Tunggu dulu, bukan berarti The Other Side of the Door merupakan sajian horror yang memuaskan, ia masih berada di bawah batas dari level tersebut, tapi jika menilik cerita, lalu eksekusi, hingga cara ia mengikat penonton yang semuanya terasa formulaic hasil akhir yang diberikan film ini tidak buruk. Hal positif terbesar datang dari elemen mistis rasa India yang dimiliki cerita, penggunaan Aghori yang cukup berhasil menciptakan kesan “beda” serta membuat daya tarik pada konflik jadi tidak mudah luntur mengingat potensi untuk tumbuh monoton sejak awal sudah sangat besar.



Ya, dari eksekusi saja sebenarnya Johannes Roberts juga tidak mencoba membuat The Other Side of the Door tampak berbeda dari sajian horror yang selama ini kamu saksikan tapi untung saja objek pintu serta karakter Maria berhasil membuat film ini tidak terjebak, bingung, lalu tertidur. Cara klasik horror bermain hadir di sini, jump-scare dengan diiringi suara keras, lalu hantu yang seolah tampak malu untuk menyapa penonton, dan hal-hal klasik lain, tidak ada hal baru yang segar, hal klasik itu hadir dengan level standar. Yang menarik dari The Other Side of the Door adalah jika kamu merasa elemen horror dengan cerita hantu tradisional itu perlahan mulai terlalu biasa maka ia punya potensi lain untuk mencengkeram kamu lewat elemen psikologi, menyelamatkan nilai keseluruhan walaupun hadir dengan thrill yang biasa.



Karakter lain di luar Maria seolah tidak diberikan perlakuan yang seimbang, sejak awal kamu seperti diarahkan untuk fokus pada masalah batin Maria, dan menariknya itu memberikan hasil positif. Dibantu dengan performa Callies yang berhasil membuat perilaku bingung dan putus asa Maria terus hidup penonton perlahan menaruh simpati pada Maria, walaupun ia melakukan tindakan yang bodoh. Alhasil meskipun tampak biasa sejak sinopsis The Other Side of the Door ternyata punya pusat emosi yang baik sehingga berawal dari simpati penonton peduli dengan karakter dan akhirnya eksekusi horror yang standar itu terasa efektif, tampak biasa namun dari tekanan dan jeritan cukup berhasil menjaga keresahan cerita walaupun telah mondar-mandir ia tetap tidak berhasil mempertajam pesan dari kisah utama. 



Banyak hal yang dapat membuat The Other Side of the Door terasa menjengkelkan, dari gerak yang lambat, fokus yang terlalu besar pada Maria, materi hingga narasi yang terlalu biasa, dan punya beberapa lubang di cerita meskipun di sisi lain ia juga punya presentasi sinematografi dan atmosfir yang baik. Namun walaupun gagal menjadi sebuah horror yang menakut-nakuti penontonnya emosi dari Maria pada depresi terhadap sebuah niat yang ingin ia lakukan bukan hanya berhasil mengikat atensi penonton namun membawa mereka untuk masuk kedalam gejolak psikologi memilukan di mana kamu seolah ingin membantunya. Tidak mengganggu memang sebagai sebuah sajian horror, namun sebagai thriller supernatural ini efektif. Segmented.














Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment