13 February 2016

Review: Pride and Prejudice and Zombies [2016]


"Daughters do not dance well with masticated brains."

Ide dari novel Pride and Prejudice and Zombies yang mencoba menulis ulang kisah klasik karya Jane Austen dengan modifikasi kecil berupa menambahkan zombie ke dalam cerita merupakan sebuah tindakan yang walaupun kamu tidak pernah membacanya pasti akan menimbulkan rasa penasaran yang begitu besar. Apa yang akan dilakukan oleh para zombie di dalam kisah yang berasal dari sebuah novel of manners yang mencoba membawa pembacanya lebih ke arah berpikir serta menghargai isu tentang kelas sosial? Manusia vs zombie? Ya, benar, Pride and Prejudice and Zombies merupakan panggung sandiwara antara zombie dengan manusia.

Inggris, abad ke-19, wabah zombie telah pecah dan mengancam dunia memaksa Mr. Bennet (Charles Dance) untuk melatih putrinya menjadi prajurit pembunuh zombie, walaupun ia tetap menyusun rencana penikahan bagi putri-putrinya, salah satunya Jane (Bella Heathcoate) yang telah jatuh hati pada Mr. Bingley (Douglas Booth). Putri tertua, Elizabeth Bennet (Lily James) juga telah menaruh rasa tertarik pada pria bernama Darcy (Sam Reilly), namun pertempuran antara manusia dan zombie yang semakin meningkat menghalangi perasaannya itu untuk tumbuh lebih jauh. Elizabeth dipaksa untuk memilih, antara cintanya dengan Darcy atau menjalankan kewajibannya di medan perang bersama dengan tentara bernama Wickham (Jack Huston). 


Apakah setelah membaca sinopsis di atas tadi kemudian muncul pertanyaan seperti ini di pikiran kamu: lalu ini film tentang romance atau tentang zombie? Entahlah, hingga tiga perempat durasi saja saya masih berusaha meyakinkan diri sendiri tentang sebenarnya Pride and Prejudice and Zombies versi film ini mau ditampilkan sebagai apa oleh Burr Steers, apakah dari premis konyol itu ini hendak dibentuk menjadi sebuah horor, sebuah sajian action, sebuah kisah romance, atau justru komedi? Ternyata Burr Steers punya niat yang jauh lebih besar, ia ingin agar empat genre tadi ada di dalam Pride and Prejudice and Zombies, dan hasilnya mereka memang eksis tapi sayangnya sikap rakus tanpa kontrol yang oke itu jadi boomerang yang sangat telak buat film ini, karena pada akhirnya Pride and Prejudice and Zombies seperti film yang ompong.



Pride and Prejudice and Zombies novel yang bagus, tapi di film ini cerita jadi terasa penuh basa-basi, bukan hanya kurang berhasil tapi gagal tampil mempesona. Sumber masalahnya karena horror, action, romance, hingga komedi tadi tidak dicampur dengan baik, mereka saling membunuh satu sama lain. Terasa liar, berusaha menciptakan kesan absurd yang catchy tapi justru menyebabkan cerita menumpuk tanpa menciptakan satu atau dua buah charm kuat di pusat. Jika Burr Steers mau memilih dua saja dari empat genre tadi untuk sedikit lebih menonjol Pride and Prejudice and Zombies bisa jadi tidak akan terasa sekering ini karena empat genre tadi masing-masing bisa diolah menjadi hiburan kelas B, atau drama misalnya yang sebenarnya punya potensi dengan komentar sosial tentang strata dengan menggunakan manusia dan zombie, kelas atas dan kelas bawah.



Oh ya, zombie, sulit untuk menyinggung zombie di pembahasan ini karena kontribusi zombie di dalam cerita juga sangat miskin. Pola film ini sangat sederhana, menjelaskan permasalahan awal tentang cinta dan kekuasaan di dunia manusia, lalu masukkan zombie dengan charm dan standar terror yang mereka hasilkan bahkan neck-to-neck dengan apa yang diberikan The Walking Dead episode awal, lalu kembali ke dunia manusia, lalu monoton. Burr Steers bukannya tidak berusaha menyeimbangkan manusia dan zombie di dalam cerita, ia sejak awal memang tidak tertarik dengan zombie, itu pula yang membuat saya meragu pada misi arahannya pada cerita. Seperti saga romance yang ragu-ragu Burr Steers juga tampak tidak yakin dalam mengemas zombie, karakter yang tugasnya meneror justru jadi tampak konyol.



Tapi kembali lagi masalah di awal tadi, jika ini ditujukan untuk jadi sebuah komedi maka para zombie tadi melakukan tugas dengan baik. Masalahnya adalah Burr Steers juga seperti “menolak” membuat film ini berjalan di jalur komedi, jadi hasilnya kamu akan menemukan petualangan yang terus menerus berjuang untuk tetap hidup dengan tampil berisik tanpa isi yang menarik. Ini bisa menjadi romance ringan yang menyenangkan, bahkan lucu, karena karakter punya modal yang oke dan cast seperti Matt Smith dan Jack Huston dapat menjadi senjata yang oke, Lily James juga tidak buruk ketika mencoba menampilkan semangat feminis dari cerita. Film ini beda, sudah tidak melepas penonton ia juga memegang paksa kita untuk kemudian sibuk menjelaskan cerita, dan ketika durasi sudah tipis materi yang tidak dirawat tadi akhirnya dikebut dan diselesaikan secara adat dan secara paksa.



Sangat sayang memang materi yang potensial justru berakhir hambar seperti Pride and Prejudice and Zombies ini, bisa dibentuk jadi pertarungan menarik antara manusia dan zombie namun justru hanya menaruh zombie sebagai cheerleader. Jangankan untuk berbicara tentang visual misal, atau momentum cerita, menemukan jawaban yang pasti tentang peran zombie di dalam cerita saja terasa sulit. Sumber kegagalan Pride and Prejudice and Zombies tampil menghibur adalah Burr Steers, kurang berani memilih dan mengambil resiko, memilih bermain “aman” di konflik dan liar di narasi namun dengan perawatan di masing-masing materi yang tidak merata. Hasilnya? Sebuah panggung sandiwara yang tumpul dan terus dieksploitasi dengan berisik. Segmented. 












Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment