23 January 2016

Review: The Forest [2016]


"You're not real! You're not real! You're not real!"

It's easy to kill a movie, just move it to January. Ya, bagi penikmat film bulan januari telah identik sebagai dump month, bulan berisikan film-film yang oleh studio dianggap tidak punya memiliki kualitas komersial yang mumpuni baik itu dari segi cerita hingga para pemeran. Mari mulai dengan The Forest, sebuah film supernatural horror yang sebenarnya punya setup dan karakter yang baik di tengah konsep klasik yang ia usung tapi sayangnya terlalu asyik menggoda penontonnya.

Sara Price (Natalie Dormer) merasa khawatir pada adiknya, Jess Price (Natalie Dormer), yang sedang berada di Jepang, tepatnya di hutan Aokigahara dekat Gunung Fuji, sebuah tempat legendaris dan suci yang memiliki mitos bahwa orang-orang yang pergi ke sana akan berakhir dengan bunuh diri karena roh-roh gelap yang berkeliaran di hutan tersebut. Sara memutuskan untuk menyusul Jess, bertemu dengan reporter bernama Aiden (Taylor Kinney) dan dibantu oleh pemandu bernama Michi (Yukiyoshi Ozawa) masuk ke dalam hutan untuk menemukan Jess. Sara penuh percaya diri sehingga memutuskan untuk bermalam di dalam hutan, namun sikap tersebut perlahan memudar ketika hal-hal aneh mulai menghampiri mereka. 



Saya suka bagian pembuka The Forest, Jason Zada terhitung cukup baik dalam membentuk cerita. Fokus utamanya adalah setup cerita itu sendiri, hubungan sebab akibat yang sebenarnya sudah sangat familiar itu berhasil menciptakan daya tarik untuk diikuti. Di bagian ini The Forest disibukkan dengan usaha membangun cerita dan karakter yang meninggalkan impresi baik, mereka tampak serius menjadikan agar ada sesuatu yang berbahaya menanti Sara dan tentu saja terus mengingatkan kita kalau apa yang dilakukan oleh Sara, Aiden, dan Michi adalah sebuah tindakan berbahaya. Proses perkenalan yang dilakukan Jason Zada bagus, fakta bahwa skenario yang ia miliki sangat tipis tidak mengganggu pikiran penonton di awal.



Sayangnya hal manis dari The Forest itu Cuma hadir di bagian awal, karena yang terjadi setelah itu adalah cerminan dari betapa tipisnya materi yang film ini miliki. The Forest adalah sebuah horror yang telah bersusah payah membangun pondasi di bagian awal, hal yang dilakukan dengan baik, tapi mengapa setelah itu yang ia lakukan adalah hal-hal klasik di level konyol dari sebuah film horror. Jason Zada kelabakan ketika menggabungkan konsep scary movie gaya Amerika dengan rasa J-Horor, ia seperti ingin menyimpan sebanyak-banyaknya misteri yang dimiliki cerita untuk menggoda penontonnya tapi tampak sangat goyah ketika momen menampilkan itu tiba.



Jadi tidak heran jika The Forest justru lebih terasa seperti film misteri ketimbang film horror, ketegangan ada tapi tidak pernah tumbuh dengan baik sehingga puncaknya yaitu rasa takut juga tidak pernah eksis. Yang eksis di dalam cerita bagi penonton adalah berbagai pertanyaan bukan rasa waspada dan rasa takut yang nyata. Jason Zada kurang cermat dalam mempermainkan imajinasi penontonnya, terlalu sibuk menggoda sehingga benang merah cerita jadi lemah, dan ketika giliran di mana ia harus meneror penonton tidak ada senjata yang oke dari karakter dan cerita. Hasilnya, ya jump scare murahan di sana-sini, membuyarkan misteri yang telah ia bangun dan menjadikan jalur selanjutnya terasa berantakan.



Hal positif dari The Forest adalah selain memiliki sinematografi yang dapat dikatakan oke ia juga punya Natalie Dormer yang dengan materi lemah sejak sinopsis tetap mampu memimpin cerita untuk terus maju. Komitmen Natalie Dormer patut diapresiasi terutama kesuksesan bagian awal juga berkat kemampuannya memberikan kedalam terhadap premis cerita, walaupun akhirnya harus terjebak di dalam aksi memeriksa yang monoton di bagian selanjutnya. The Forest tidak istimewa, terjebak dalam ide klasik sehingga babak kedua terasa monoton, rasa waspada dan takut tidak kuat, namun ini merupakan debut yang cukup menjanjikan dari Jason Zada. Ya, setidaknya The Forest bukan film horror yang pemalas di semua elemen.







0 komentar :

Post a Comment