21 December 2015

Review: Life (2015)


Hidup merupakan petualangan yang “menyenangkan”, seperti perpaduan antara manisnya gula, asinnya garam, dan asamnya lemon. Fakta itu yang coba digambarkan oleh film terbaru dari Anton Corbijn, menggunakan sorot terhadap kehidupan aktor James Dean sebagai jalan dalam sebuah perjalanan bersama seorang fotografer beberapa bulan sebelum kematiannya. Sayangnya kata dasar dari kata terakhir tadi menjadi bagian penting dari Life, karena Life tidak mampu dengan mudah untuk hidup, ada mati yang hadir di sampingnya.

Pada awal tahun 1955, James Dean (Dane DeHaan) yang telah menyandang status sebagai rising star di Hollywood bersiap menyambut rilis filmnya, East of Eden, yang kemudian akan disusul dengan Rebel Without a Cause. Seorang fotografer dari majalah Life bernama Dennis Stock (Robert Pattinson) melihat potensi bintang yang Dean punya, dan ia memutuskan selama beberapa minggu untuk mengikuti Dean menuju sebuah pedesaan di Indiana, membujuk Dean untuk berpose dalam dalam serangkaian foto yang kini menjadi gambar ikonik dari sang aktor. 


Dari sinopsis di atas tadi mungkin akan muncul pertanyaan di pikiran kamu, “lalu tujuan film ini apa?” Ya, konflik yang dimiliki oleh Life memang tidak begitu jelas, saya lebih senang menyebut film ini sebagai sebuah karakter studi terhadap karakter James Dean lewat kacamata seorang Dennis Stock. Life baik pada awalnya, sang sutradara Anton Corbijn menciptakan impresi bahwa ia tahu bagaimana cara membentuk apa yang ingin ia sampaikan, tapi sayangnya seiring durasi berjalan Life kurang berhasil tumbuh berkembang. Life dimulai dengan sederhana, terasa ramping, tapi ternyata sampai akhir ia terus saja ramping, Anton Corbijn ingin menonjolkan kesan natural dari karakter dan cerita tapi kurang terkendali sehingga miskin gairah.



Life seperti film yang kekurangan darah, sebuah usaha menyajikan potret seorang bintang lengkap dengan tragedi yang menyelimuti jiwa karakter namun selalu lebih sibuk berusaha menarik atensi dan  fokus penonton ketimbang membangun daya tarik karakter dan cerita. Fokus film ini terasa lemah, seperti terus berpindah antara Stock dan Dean yang tidak tampak seperti sebuah tim dengan chemistry oke tapi dua pria frustasi yang memperebutkan atensi penonton. Akhirnya subjek dari cerita sulit untuk dinikmati, Dane DeHaan menjadikan Dean tampak mempesona tapi kesombongan karakter yang ia hasilkan tidak terasa eksentrik, dan Robert Pattinson menjadikan Dennis Stock sebagai pria obsesif dengan masalah keluarga yang tidak menarik.



Niat Life sebenarnya bagus, ia ingin memberikan kamu gambaran terkait sisi kusam kehidupan di Hollywood tapi sayangnya tidak disertai dengan bagian lain yang membelokkan arah dan membawa hal-hal kusam tadi menjadi tampak menarik. Life terjebak, satu pria yang putus asa karena kesuksesan dan satu lagi pria yang bingung pada apa yang ia inginkan, mereka mondar-mandir dengan disertai kompleksitas identitas dan tentu saja foto. Ya foto, life sama tipisnya seperti kertas foto, dan dengan pilihan Anton Corbijn yang seolah ingin membuat Life sedikit style over substance menyebabkan sulit untuk peduli terhadap karakter dan cerita karena mereka terasa tipis dan tumbuh dengan lambat terlebih memiliki fokus yang lemah.



Pada akhirnya Life tidak meninggalkan penonton dengan banyak alasan dibalik kehadirannya. Miskin konsistensi menjadikan Life terasa hambar, menghadirkan dua subjek dengan mengandalkan konflik internal di masing-masing individu tapi tidak disertai dengan pondasi dan materi yang kuat dan menarik. Impresi yang dihasilkan oleh Life persis seperti mengikuti dua  karakter utama yang frustasi dalam rasa bingung, terjebak dalam narasi ramping yang kusam, sebuah presentasi yang perlahan lebih mengandalkan style dan meninggalkan karakter dan cerita tersesat mencari jalan pulang. Kusam. Segmented.














Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment