07 August 2015

Review: Phoenix (2014)


"It’s late, darling it’s late, the curtain descends, everything ends too soon, too soon."

Selalu menyenangkan memang saat menyaksikan sebuah film yang mampu membuat penontonnya bukan hanya sekedar mengamati apa yang terjadi di hadapan mereka tapi juga seolah terlibat didalam cerita, masuk dan dikunci untuk kemudian dilepaskan kembali dengan rasa gembira ketika film tersebut telah selesai. Christian Petzold berhasil melakukan itu di Barbara, dan di film terbarunya ini ia mengulang kesuksesan tersebut dengan Phoenix, sebuah drama post-Holocaust dengan power kuat yang meninggalkan penonton dengan horror emosi dan psikologi.

Nelly Lenz (Nina Hoss) muncul di Berlin dengan wajah mengerikan akibat luka bakar yang ia peroleh saat Perang Dunia II. Luka yang Nelly peroleh saat mencoba melarikan diri ketika di tangkap pada akhir tahun 1944 itu ternyata dapat di pulihkan namun dengan catatan bahwa Nelly tidak akan mendapatkan wajah aslinya kembali, yang kemudian membuat Nelly tidak dikenali oleh suaminya, Johnny (Ronald Zehrfeld), yang sedang mencarinya dan berusaha mengamankan warisan Nelly. Sahabat Nelly, Lene Winter (Nina Kunzendorf), mengatakan kondisi tersebut akan menguntungkan sahabatnya itu karena ia yakin Nelly telah di khianati oleh Johnny demi Nazi. Celakanya Nelly masih sangat cinta pada suaminya. 



Ketika Phoenix selesai saya terus tersenyum ketika mencoba beralih untuk melakukan aktifitas selanjutnya, bukan hanya karena ending yang ia miliki yang membuat saya bertanya-tanya itu tapi juga karena kecerdikan dari Christian Petzold dalam meramu setiap bahan yang ia punya disini. Phoenix menyebut dirinya sebagai sebuah drama yang dipadukan dengan sejarah tapi mengapa ada unsur romance, thriller, bahkan horror yang melekat dengan lembut didalamnya? Bahkan ada momen sentimental dalam kuantitas yang pas! Christian Petzold cemerlang, ia pakai konflik dimana suami terpisah dengan istrinya lalu masukkan mereka kedalam basis cerita tentang peperangan, lalu aduk mereka bersama dengan berbagai isu sensitif lain kedalamnya.



Menyaksikan film ini mengingatkan saya pada Ida tahun lalu, mereka pada dasarnya punya tujuan yang sederhana lalu digambarkan juga dengan kesan atau tampilan yang sederhana, namun dibalik kesederhanaan itu ada isu atau materi kuat yang akan menghujam penonton dengan kuat ketika ia telah berakhir. Dari menyamar hingga manipulasi serta hadirnya potensi pengkhianatan, penonton terus di tuntut oleh Phoenix untuk sabar dengan permainan emosi yang ia berikan. Hal tersebut tricky karena potensi akan besar untuk jadi monoton, tapi disini Petzold terus membangun ketegangan dengan baik, kita dibiarkan terombang-ambing dengan kehadiran perspektif dari karakter lalu ditemani pertanyaan-pertanyaan yang semacam menjadi media baginya untuk menebar rasa takut kepada penonton pada apa yang akan terjadi selanjutnya.



Tapi kembali lagi ke apa yang saya singgung di awal tadi, walaupun terlihat kompleks pada dasarnya Phoenix ini merupakan sebuah drama psikologis yang cenderung menggunakan permainan suasana pada hati dan emosi untuk membawa kamu menyaksikan dua perang sekaligus. Phoenix punya dua karakter dengan dua sisi yang ambigu namun menarik, Nelly mungkin terlihat seperti karakter utama yang harus kamu dukung tapi disisi lain Johnny diberikan amunisi yang oke untuk membuat penonton tertarik padanya. Nah, seorang suami yang mencoba mengembalikan wanita yang dahulu pernah ia cintai, seorang istri yang mencoba merebut kembali masa lalunya, dan kondisi dimana dua karakter pada dasarnya punya masa lalu yang indah sebelum terjadinya perang semakin menambah rumit peperangan yang tampil dengan momentum oke itu.



Hal yang membuat Phoenix menarik bukan hanya terletak pada alur cerita tapi juga pada bagaimana cerita itu dikemas. Cinematography terasa manis, visual kerap membantu menekankan tekanan didalam cerita, hal yang mempermudah Christian Petzold dalam memberikan nafas pada cerita. Petzold sangat terampil dalam membakar cerita, perlahan tapi tetap membuat kamu terpaku, ada perasaan tenang didalam cerita yang disertai pula dengan rasa gugup. Nilai positif tadi juga banyak dibantu oleh kinerja pemeran yang sangat oke, terutama Nina Hoss. Ronald Zehrfeld tampil baik, Nina Kunzendorf juga memberikan dukungan yang oke, tapi bagaimana cara Nina Hoss mengambarkan Nelly yang sedang “rusak” menjadi senjata mematikan bagi Phoenix, wajah dan juga gerak tubuh yang ekspresif, menampilkan berbagai emosi Nelly dengan mumpuni. One of the best this year so far.



Kengerian dan kegilaan dari Holocaust dipadukan dengan sangat baik bersama drama psikologi klasik oleh Christian Petzold, pria asal Jerman ini yang sekali lagi mampu meyakinkan penonton untuk stick bersama karakter dan cerita yang ia berikan berkat kemampuannya dalam membuat dan mengontrol cerita dan karakter tersebut seolah bernafas sehingga kita bukan cuma mengamati segala intrik yang ia berikan tapi juga seolah berada disamping karakter, ikut merasakan perih, thrill, bahkan saat-saat tenang yang horror. Phoenix menuntut atensi yang lebih besar dari penonton pada cerita, karakter, dan emosi, sehingga bagi penonton yang Phoenix “cari” mereka akan menilai finale tersebut seperti sebuah sesuatu yang menghantui. Vertigo. Segmented.













Thanks to: rory pinem

1 comment :

  1. pembawaan actingnya kuat walau ceritanya uman 'yaaah gitu doang yahhh
    tapi setuju atmosfirny kuat sekali apalagi ketika adegan baca surat dan endingnya sih yang emang klimaks ahhh

    ReplyDelete